BAB II
KAJIAN TEORI
A.
Kajian Tentang Dakwah
1.
Pengertian Dakwah
Dalam buku
“Metode Dakwah” yang disusun oleh M. Munir, Syekh Ali Mahfud
mendefinisikan dakwah adalah:
حَثُّ النَّاسِ عَلَي الْخَيْرِ وَالْهُدَى وَالْأَمْرُ
بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ لِيَفُوْزُوْا بِسَعَادَةِ الْعَآجِلِ
وَالْاَجِلِ
Artinya:“Mengajak manusia kepada kebaikan dan petunjuk, dan menyuruh berbuat baik dan mencegah
berbuat munkar untuk mencapai kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat”.[1]
Menurut Bakhial Khauli
yang dikuti oleh M. Munir mengartikan dakwah adalah satu proses menghidupkan
peraturan-peraturan Islam dengan maksud memindahkan umat dari satu keadaan
kepada keadaan lain.[2]
Abdul Karim Zaidan yang dikutip oleh A.M. Fatwa menuturkan bahwa dakwah adalah
mengajak ke jalan Allah, yakni ajakan ke jalan dīnul Islam yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw.[3]
Sedangkan menurut Prof. Dr. H.M Yunan Yusuf[4]
menyatakan dalam pengantar sebuah buku yang berjudul “Metode Dakwah”
mengungkapkan bahwa dakwah pada hakikatnya adalah segala aktivitas dan kegiatan
yang mengajak orang untuk berubah dari satu situasi yang mengandung nilai
kehidupan yang bukan Islami kepada nilai kehidupan yang Islami. Aktivitas dan kegiatan
tersebut dilakukan dengan mengajak, mendorong, menyeru, tanpa tekanan, paksaan
dan provokasi, dan bukan pula dengan bujukan dan rayuan pemberian sembako dan
lain sebagaianya.[5]
Dalam pengertian yang integralistik, dakwah merupakan suatu proses yang
berkesinambungan yang ditangani oleh para pengemban dakwah untuk mengubah
sasaran dakwah agar bersedia masuk ke jalan Allah, dan secara bertahap menuju
perikehidupan yang Islami. Suatu proses yang berkesinambungan adalah suatu
proses yang bukan insidental atau kebetulan, melainkan benar-benar
direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi secara terus-menerus oleh para
pengemban dakwah dalam rangka mengubah perilaku sasaran dakwah sesuai
tujuan-tujuan yang dirumuskan. (H. Roosdi A.S., 1992:1)[6]
Dari beberapa definisi yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan
bahwa dakwah adalah proses kegiatan yang dilakukan oleh pelaku dakwah (dā’i)
dengan berbagai macam cara agar objek dakwah (mad’ū) berubah dari satu
tatanan, cara pandang, perilaku, kepada tatanan yang lebih baik.
2.
Unsur-unsur dakwah
a)
Subjek Dakwah (Dā’i)
Dā’i merupakan
orang yang melakukan dakwah, atau dapat diartikan sebagai orang yang
menyampaikan pesan dakwah kepada orang lain (mad’ū).[7]
Dā’i bisa secara individual, kelompok, organisasi atau lembaga yang
dipanggil unruk melakukan tindakan dakwah. Dā’i memiliki posisi yang
sentral dalam dakwah, sehingga dā’i harus memiliki citra atau image
yang baik dalam masyarakat.[8]
Untuk dapat mengubah kepribadian masyarakat agar mau mengikuti seruan atau
ajakan, seorang dā’i (dalam artiyang luas) harus ikhlas kepada Allah.[9]
Pada
umumnya masyarakat menaruh kepercayaan yang kuat pada seorang dā’i.
Karena itu, menurut Suryani, ada beberapa prinsip yang harus dimiliki oleh
seorang dā’i. Pertama, dā’i harus memahami dan mengamalkan
nulai-nilai intrinsik yang terdapat dalam surat al-Syaf ayat 3:
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللهِ أَنْ
تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ
Artinya: “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”[10]
Dā’i yang
mengabaikan kandungan ayat tersebut dalam kehidupan nyata akan ditinggalkan oleh
jamaahnya. Kedua, dā’i harus memiliki rasa keikhlasan dalam menjalankan
dakwahnya sebagai amanat Allah.[11]
Selain itu
yang tidak kalah pentingnya adalah uswah atau keteladanan. Seorang dā’i
harus dapat dijadikan sebagai contoh riil dalam kehidupan sehari-hari, sehingga
lebih dapat menguatkan dakwahnya, dan membuat dakwahnya dapat lebih meresap di
lubuk hati mad’ū-nya.[12]
Tentang
subjek atau pelaku dakwah (da’ī), Syaikh Nawawi memberi batasan, seorang
dā’i harus telah memahami ilmu-ilmu agama Islam sekaligus
mengamalkannya. Kemudian, Syaikh Nawawi membagi kriteria dakwah dalam beberapa
tingkatan, yaitu:
a.
Dakwah para nabi
b.
Dakwah para ulama
c.
Ddakwah para mujahidin
d.
Dakwah Mu’adzin
Masing-masing
tingkatan tersebut mempunyai ciri tersendiri. Meskipun demikian, semuanya
memiliki orientasi yang sama mulianya, yaitu mengajak kepada jalan Allah.
Dari
beberapa ulasan di atas subjek dakwah atau seorang dā’i dalam
menjalankan tugasnya perlu mempersiapkan segala hal yang diperlukan. Dengan
mengembangkan unsur dakwah yang lain seperti metode dakwah, materi dakwah,
media dakwah dan masih banyak yang lainnya. hal ini perlu dilakukan dan
dipersiapkan agar dalam memberikan dakwah, objek dakwah (mad’ū) dapat
menerima materi yang disampaikan oleh dā’i.
Menurut Syaikh
Nawawi para ulama adalah pengganti pada nabi dalam hal pewarisan ilmu.
Sedangkan penguasa (pemegang pemerintahan) adalah pengganti para nabi dalam hal
kekuasaan. Pendapat ini bermakna, di samping memerlukan ilmu sebagai materi
dakwah, dukungan pemegang kekuasaan (pemerintah) juga diperlukan dalam
berdakwah. Pada kenyataannya, banyak dakwah berhasil dilakukan saat didukung para
pemegang kekuasaan. Oleh karena itu, antara ulama dan umara hendaknya memiliki
orientasi dan strategi yang sama dalam mengembangkan agama Islam.[13]
b)
Objek/Sasaran Dakwah (Mad’ū)
Dakwah
tanpa melihat kondisi masyarakat sebagai objek dakwah akan memberikan hasil
yang tidak baik, bahkan cenderung tidak berhasil. Dakwah yang baik adalah
dakwah yang menggunakan metode yang sesuai dengan kondisi masyarakat objek
dakwah karena tinggkat pengetahuan masyarakat berbeda-beda. Hal ini sesuai
dengan hadits nabi yang mengatakan: Khātibū al-nās ‘aā qadri ‘uqūlihim, berbicaralah
dengan manusia menurut kadar kemampuan akalnya (H.R Muslim).[14]
Objek
dakwah adalah masyarakat atau orang yang didakwahi, yakni diajak ke jalan Allah
SWT agar selamat dunia dan akhirat.[15]
Masyarakat sebagai objek dakwah sangat heterogen, misalnya ada masyarakat yang
berprofesi sebagai petani, nelayan, pedagang, pegawai, buruh, artis, anggota
legislatif, eksekutif, keryawan, dan lainnya. Bila dilihat dari aspek
geografis, masyarakat sebagai objek dakwah ada yang tinggal di kota, pedesaan,
pegunungan, pesisir, bahkan ada juga yang tinggal di pedalaman. Bila ditinjau dari aspek agama, objek dakwah
atau mad’ū ada yang muslim/mukmin, kafir, munafik, musyrik, dan lain
sebagainya.[16]
c)
Materi dakwah (Maddâh
al-da’wah)
Menurut
Syaikh Nawawi, materi dakwah yang utama adalah dakwah tentang iman pada Dzat
Allah dan sifat-sifat-Nya serta mensucikannya dari keyakina-keyakinan syirik.
Hal ini karena iman kepada Allah merupakan inti dari agama Islam. Aspek
ketauhidan ini juga menjadi daya perekat dari bangunan persatuan masyarakat
muslim.
Caesar E.
Farah dalam Islam Beliefs and Observances, sebagaimana dikutip oleh
Samsul Munir menyatakan: the religion of Muslim provides a strong bond that
brings together Muslims regardless of race or nationality in a fellowship
constructed upon faith in the one God. Agam Islam memberi sebuah ikatan
kuat yang menyatukan sesama muslim tanpa memandang suku bangsa dalam sebuah
persatuan yang bijak pada kepercayaan terhadap ke-Esa-an Tuhan.[17]
Pada
dasarnya materi dakwah tergantung kepada tujuan dakwah yang hendak dicapai.
Namun secara global dapat dikatakan bahwa materi dakwah dapat diklasifikasikan
menjadi tiga hal, yaitu masalah keimanan (aqidah), masalah keislaman (syariah),
dan masalah budi pekerti (akhlaq al-karimah).[18]
3.
Tujuan dakwah
Menurut
M.Natsir yang dikutip oleh Thohir Luth, tujuan dakwah adalah;[19]
1.
Memanggil kita kepada syariat,
untuk memecahkan persoalan hidup, baik persoalan hidup perseorangan atau
persoalan berumah tangga, berjamaah-bermasyarakatm berbangsa-bersuku bangsa,
bernegara bertatanegara.
2.
Memanggil kita kepada fungsi
hidup kita sebagai hamba Allah di atas dunia yang terbentang luas ini,
berisikan manusia berbagai jenis, bermacam pola pendirian dan kepercayaan,
yakni fungsi sebagai syuhada’ ala an-nās, menjadi pelopor dan pengawas
bagi umat manusia.
3.
Memanggil kita kepada tujuan
hidup kita yang hakiki, yakni menyembah Allah.
Menurut
Moh. Ali Aziz, tujuan dakwah adalah terciptanya tatanan kehidupan sosial dalam
maysarakat yang lebih baik, secara material dan spiritual.[20]
Prof. Dr. K.H. Didin Hafidhuddin menegaskan bahwa tujuan dakwah adalah untuk
mengubah masyarakat yang menjadi sasaran dakwah ke arah kehidupan yang lebih
baik dan lebih sejahtera, lahir dan batin.[21]
Lebih lanjut
beliau menyatakan bahwa tujuan dakwah secara umum adalah mengubah perilaku
sasaran dakwah agar mau menerima ajaran islam dan mengamalkannya dalam tataran
kenyataan kehidupan sehari-hari, baik yang bersangkutan dengan masalah
peribadi, keluarga, maupun sosial kemasyarakatan, agar terdapat kehidupan yang
penuh dengan keberkahan samawi dan keberkahan ardhi, mendapat
kebaikan dunia dan akhirat, serta terbebas dari azab neraka.[22]
Dari
beberapa pendapat tentang tujuan dakwah di atas, maka dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa tujuan dakwah adalah terbentuknya pribadi baik individu
ataupun masyarakat yang benar-benar melaksanakan atau menjalankan suatu
perintah agama dan menjauhkan diri atau meninggalkan larangan Allah SWT untuk
menuju suatu kehidupan yang baik dan damai, agar bahagia dan selamat di dunia
dan di akhirat.
4.
Metode Dakwah
Metode
disini adalah metode dalam arti yang luas, yang mencakup juga strategi, taktik,
dan teknik dakwah. Dari segi bahasa metode berasal dari dua kata yaitu “meta”
(melalui) dan “hodos” (jalan, cara). Dengan demikian metode dakwah adalah
cara-cara tertentu yang dilakukan oleh komunikator (dā’i) kepada objek (mad’ū)
untuk mencapai suatu tujuan atas dasar hikmah dan kasih sayang.[23]
Pemilihan
dalam penggunaan metode dakwah tidaklah serta merta menunjang terhadap
keberhasilannya. Namun demikian tidak berarti pula kita harus tergesa-gesa
menyisihkan suatu metode karena kegagalannya. Perlu disadari bahwa hakikat
metode adalah sebagai pelayan, jalan atau alat saja. Tidak ada metode yang
seratus persen (100%) baik. Metode yang paling sesuaipun belum menjamin hasil
yang baik dan otomatis. Suatu metode yang sesuai bagi si A, tidaklah pasti
sesuai bagi si B. Oleh karena itu penerapan metode tidaklah dapat berlaku untuk
selamanya.[24]
Cukup
banyak metode yang telah dilakukan dan dipraktekkan oleh para dā’i dalam
menyampaikan dakwah, seperti ceramah, diskusi, bimbingan dan penyuluhan,
nasihat, panutan, dan sebagianya. Semuanya dapat diterapkan sesuai dengan
kondisi yang dihadapi. Tetapi harus digarisbawahi bahwa metode yang baik
sekalipun tidak menjamin hasil yang baik secara otomatis, karena metode
bukanlah satu-satunya kunci kesuksesan. Tetapi, keberhasilan dakwah ditunjang
dengan seperangkat syarat, baik dari pribadi dā’i, materi yang dikemukakan,
subjek dakwah, ataupun lainnya.
Sampai saat
ini, kenyataan menunjukkan bahwa metode ceramah masih merupakan metode yang
paling banyak dilakukan. Dalam metode ini, penampilan merupakan faktor pertama
yang dapat menentukan sukses tidaknya dakwah. Karena, dalam berceramah, seorang
dā’i dianjurkan[25]:
a.
Memiliki semangat yang energik.
Tampil ke podium dengan wajah cerah berseri, dengan pakaian rapi, bersih dan
serasi.
b.
Berusaha membuat pendengar merasa “dekat” dengannya.
Banyak cara untuk menciptakan hal semacam ini, seperti menghimpun mereka bila
duduk berpencar, berbicara tidak di atas podium dan berdiri di hadapan mereka
bila jumlahnya sedikit, atau berbicara sambil duduk penuh keakraban dan
persahabatan.
c.
Ketika berbicara hendaknya tidak
melakukan gerakan yang berulang-ulang dan dibuat-buat, ataupun sering menoleh
ke kanan atau ke kiri secara tidak wajar.
Prinsip-prinsip
penggunaan metode dakwah adalah sebagaimana firman Allah dalam QS al-Nahl: 125:
ادْعُ
إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ
وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[26] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan
cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.”[27]
Ayat di
atas mengemukakan tiga metode dalam berdakwah:
1.
Al-Hikmah (الحكمة)
Al-hikmah diartikan
sebagai al’adl (keadilan), al-haq (kebenaran), al-hilm
(ketabahan), al-ilm (pengetahuan), dan an-nubuwah (kenabian). Di
samping itu, al-hikmah juga diartikan menempatkan sesuatu pada
proporsi-nya. Al-hikmah juga berarti pengetahuan yang dikembangkan
dengan tepat sehingga menjadi sempurna. Menurut pendapat ini, al-hikmah
termanisfestasikan ke dalam empat hal: kecakapan manajerial, kecermatan,
kejernihan pikiran dan ketajaman pikiran.[28]
Menurut
Imam Abdullah bin Ahmad Mahmud An-Nasafi sebagaimana dinukil oleh Munir, arti
hikmah yaitu:
"بِالْحِكْمَةِ"
أَيْ بِالْمَقَالَةِ الصَّحِيْحَةِ الْمُحَكَّمَةِ وَهُوَ الدَّلِيْلُ
الْمُوَضِّحُ لِلْحَقِّ الْمُزِيْلُ لِلشُّبْهَةِ
"Dakwah bil-hikmah" adalah dakwah dengan menggunakan perkataan yang benar dan
pasti, yaitu dalil yang menjelaskan kebenaran dan menghilangkan keraguan.[29]
Dra.
Chadijah Nasution dalam buku Nuansa
Fiqh Sosial menyebutkan bahwa dakwah bi al-hikmah adalah dakwah
dengan memusatkan pikiran pada tugasnya
atau tidak mencampuradukkan masalah-masalah lain dalam pikirannya, sehingga dā’i
dapat mengetahui apa yang dibutuhkan oeleh penerima dakwahnya.[30]
Menurut Mahmud Asy-Syafrowi
dakwah bi al-hikmah adalah dakwah dengan contoh atau teladan yang baik,
dengan tarbiyah (mendidik) dan ta’lim (mengajar), dakwah dengan
kelemah-lembutan, dakwah dengan mengenal maslahât dan menolak mafsadât.[31]
Imam Nawawi al-Bantani
menjelasakan bahwa hikmah adalah argumen (dalil) yang qath’i dan
berfaedah bagi kaidah-kaidah keyakinan. Maksudnya, dalam berdakwah harus
menggunakan ardumen yang rasional, bisa diterima akal, dan berfaedah menurut
pandangan subjek dakwah dan objek dakwah.[32]
2.
Al-Mu’idzah al-Hasanah (الموعظة الحسنة)
Abd Hamid
al-Bilali yang dikutip oleh M.Munir menyatakan bahwa mu’idzah al-hasanah
adalah merupakan salah satu manhaj (metode) dalam dakwah untuk mengajak
ke jalan Allah dengan memberikan nasihat atau membimbing dengan lemah lembut
agar mad’ū mau berbuat baik.[33]
M. Munir
sendiri menyimpulkan mu’idzah al-hasanah mengandung arti kata-kata yang
masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan ke dalam perasaan dengan
penuh kelembutan; tidak membongkar atau mem-beberkan kesalahan orang lain sebab
kelemah lembutan dalan menasehati seringkali dapat meluluhkan hati yang keras
dan menjinakkan kelbu yang liar, ia lebih mudah melahirkan kebaikan daripada
ancaman.[34]
Syaikh
Nawawi al-Bantani sebagaimana dikutip oleh Samsul Munir menerangkan maksud
mauidzah hasanah adalah perintah-perintah yang dzanni dan dalil-dali
yang bisa diterima. Maksudnya dalam berdakwah harus menggunakan bahasa yang
baik dan penjelasan-penjelasan yang bisa ditangkap oleh objek dakwah. Sehingga
pesan-pesan dakwah dapat diterima dengan baik.[35]
3.
Al-Mujâddalah bi al-Latî Hiya
Ahsan (المجادلة بالتى هي أحسن)
Menurut
An-Nasafi yang dikutip oleh M.Munir al-mujâddalah bi al-latî hiya ahsan
adalah:
"وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ" بِالطَّرِيْقَةِ الَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ طُرُقِ
الْمُجَادَلَةِ مِنَ الرِّفْقِ وَاللَّيْنِ مِنْ غَيْرِ فَظَاظَةٍ أَوْ بِمَا
يُوْقِظُ الْقُلُوْبَ ويَعِظُ النُّفُوْسَ ويَحْلُوْا الْعُقُوْلَ, وَهُوَ رَدٌّ
عَلَى مَنْ يَأْبَى الْمُنَاظَرَةَ فِيْ الدِّيْنِ
"Berbantahan dengan baik" yaitu dengan jalan yang sebaik-baiknya dalam bermujadalah, antara lain dengan perkataan yang lunak, lemah lembut, tidk dengan ucapan yang kasar atau dengan mempergunakan sesuatu
(perkataan) yang bisa menyadarkan hati, membangunkan jiwa dan menerangi akal
pikiran, ini merupakan penolakan bagi orang yang enggan melakukan perdebatan
dalam agama.”[36]
Mujadalah
diartikan atau dimaknai dengan “dialog interaktif dan partisipasif” antara dā’i
dan masyarakat sebagai objek dakwah (mad’ū). Dakwah dengan mujadalah ini
mempunyai kelebihan , yaitu melibatkan secara aktif partisipasif bahkan
kontribusi masyarakat dalam proses dakwah. Sebab, dengan ber-mujādalah
akan terjadi take and give (mengambil dan memberi) sehingga
dakwah akan terasa lebih dinamis dan fungsional. Oleh karena itu, wajar apabila
Allah menyebutnya dengan al-latî hiya ahsan.[37]
B.
Kajian Tentang Kiai
Mujamil Qomar menyebutkan dalam bukunya “Pesantren”
bahwa istilah kiai memiliki pemaknaan yang jamak (lebih dari satu)[38]:
Istilah kiai memiliki pengertian yang plural. Kata kiai
bisa berarti:
1.
Sebutan bagi alim ulama (cerdik
pandai dalam agama Islam).
2.
Alim ulama
3.
Sebutan bagi guru ilmu gaib
(dukun dan sebagainya)
4.
Kepala distrik (di kalimantan
Selatan)
5.
Sebutan yang mengawali nama
benda yang dianggap bertuah (senjata, gamelan, dan lain sebagainya)
6.
Sebutan samaran untuk harimau
(jika orang melewati hutan).
Menurut asal-usulnya, perkataan kiai dalam bahasa Jawa
dipakai untuk tiga jenis gelar yang salin berbeda:
1.
Sebutan gelar kehormatan bagi
barang-barang yang dianggap keramat; umpamanya, Kiai Garuda Kencana dipakai
untuk sebutan Kereta Emas yang ada di
Keraton Yogyakarta.
2.
Gelar untuk orang-orang tua pada
umumnya;
3.
Gelar yang diberikan masyarakat
kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren
dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya. Selain gelar kiai,
ia juga sering disebut seorang ‘alim (orang yang dalam pengetahuan Islamnya).[39]
Dalam sebuah catatan kaki, Darul Aqsha menyatakan hal
yang semakna dengan pengertian kiai di atas. Darul Aqsah dalam catatan kakinya
menyatakan:
“Kiai, kyai atau kiyahi
memiliki beberapa arti. Dalam hal ini kiai diartikan sebagai “sebutan buat
orang yang alim dibidang agama”. Menurut Zamakhsari Dhofier, kiai adalah “gelar
yang diberikan masyarakat kepada ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi
pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab klasik kepada para santrinya. Kiai
dianggap orang alim, saleh, bertakwa, sangat senang memberikan nasihat tanpa
mengharap imbalan, dan pikirannya diarahkan pada kebaikan agama dan
masyarakat. Sebutan antara satu daerah
dengan daerah lain berbeda-beda, di daerah Sunda kiai disebut Ajengan, di
Madura Nun atau Bendara, di Aceh Tengku, dan Buya atau
Abuya di Minagkabau.”[40]
Prof. Dr. Abd Halim Soebahar, MA dalam bukunya memberikan
pandangan bahwa pada awalnya kata “kiai” digunakan untuk sebutan orang yang
alim. Orang alim ini pada mulanya
berdomisili di suatu tempat. Ia berasal dari komunitas penduduk asli daerah
tempat tinggalnya, di mana ia diketahui
baru pulang kampung setelah sekian lama menuntut ilmu-atau dapat pula ia
berasal dari daerah lain yang sengaja datang untuk mengamalkan ilmu dan
menyebarkan agama Islam di daerah tersebut.[41]
Seiring berjalannya waktu masyarakat mulai mengetahui
bahwa sang alim tersebut memiliki banyak sekali kelebihan dalam berbagai bidang
yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang. Sang alim inilah kemudian dikenal
dengan sebutan “kiai”. Masyarakatpun mulai berdatangan untuk meminta fatwa atau
bimbingan tentang berbagai persoalan, terutama persoalan-persoalan kegamaan.
Sang kiai tentu saja menyambutnya dengan penuh antusias karena ia menganggap
hal itu sejalan dengan hasrat dan niatnya sejak awal mula. Alhasil, dengan
sikap ramah dan perasaan bahagia, sang kiai berupaya sungguh-sungguh untuk
memberikan bimbingan, pendidikan, dan pengajaran agama Islam yang mereka
butuhkan. Mereka inilah yang di kemudian hari lebih dikenal dengan sebutan
“santri”.[42]
Dahulu kala orang memandang seseorang yang pandai di
bidang agama Islam baru layak disebut kiai bila ia mengasuh atau memimpin
pesantren. Sekarang, msekipun tidak memimpin pesantren, bila ia memiliki
keunggulan dalam menguasai ajaran-ajaran Islam dan amalan-amalan ibadah
sehingga memiliki pengaruh yang besar di masyarakat, sering juga disebut kiai
seperti Kiai Ali Yafie, Kiai Abdul Muchith Muzadi, Kiai Yasin Yusuf, dan Kiai
Zainuddin MZ.
Pemakaian istilah “kiai” tampaknya merujuk pada kebiasaan
daerah. Pemimpin pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah disebut kiai,
sedangkan di Jawa Barat diberi gelar ajengan. Secara nasional, term kiai
lebihterkenal daripada ajengan. Paralel dengan kiai adalah ulama, yang
merupakan istilah yang ditransfer dari dua sumber skriptural Al-Quran dan
al-Sunnah serta digunakan secara nasional. Kiai dan ulama berbeda asal-usul
bahasanya, tetapi memiliki esensi kualitas yang relatif sama. Keduanya memiliki
karakter fundamental yang berkualitas tinggi dalam hal iman, takwa, dan ilmu
sebagai ciri khas.[43]
Gelar kiai tidak diusahakan melalui jalur-jalur formal
sebagai sarjana misalnya, melainkan datang dari masyarakat yang secara tulus
memberikannya tanpa intervensi pengaruh-pengaruh pihak luar. Kehadiran gelar
ini akibat kelebihan-kelebihan ilmu dan amal yang tidk dimiliki lazimnya orang,
dan kebanyakan didukung pesantren yang dipimpinnya. Oleh karena itu, kiai
menjadi patron (teladan) bagi masyarakat sekitar.
Martin Van Bruinessen yang dikutip oleh Mujamil Qomar
menyatakan bahwa sebagai patron, kiai memainkan peranan yang lebih dari sekedar seorang guru.[44]
Ia bukan sekedar menempatkan dirinya sebagai pengajar dan pendidik
santri-santrinya, melainkan juga aktif memecahkan masalah-masalah krusial yang
dihadapi masyarkat. Ia memimpin kaum santri, memberikan pembimbingan dan
tuntunan kepada mereka, menenangkan hati seseorang yang sedang gelisah,
menggerakkan pembangunan, memberikan ketetapan hukum tentang berbagai masalah
aktual, bahkan tidak jarang ia bertindak sebagai tabib dalam mengobati
penyakit yang diderita orang yang mohon bantuannya. Maka kia mengemban tanggung
jawab moral-spiritual selain kebutuhan materiil. Tidak berlebihan jika terdapat
penilain bahwa figur kiai sebagai pemimpin karismatik menyebabkan hampir segala
masalah kemasyarakatan yang terjadi di sekitarnya harus dikonsultasikan lebih
dahulu kepadanya sebelum mengambil sikap terhadap masalah tersebut.[45]
Kiai adalah pemimpin non formal sekaligus pemimpin
spiritual, dan posisinya sangat dekat dengan kelompok-kelompok masyarakat
lapisan bawah di desa-desa. Sebagai pemimpin masyarakat, kiai memiliki jamaah
komunitas dan massa yang diikat oleh hubungan keguyuban yang erat dan ikatan
budaya paternaistik. Petuah-petuahnya selalu didengar, diikuti dan dilaksanakan
oleh jamaah, komunitas dan massa yang dipimpinnya. Jelasnya, kiai menjadi
seorang yang dituakan oleh masyarakat, atau menjadi bapak masyarakat terutama
masyarakat desa.[46]
Kepercayaaan masayarakat yang begitu tinggi terhadap kiai
dan didukung potensinya memecahkan berbagai problem
sosio-psikis-kultural-politik-religius meneyebabkan kiai menempati posisi
kelompok elit dalam struktur sosial dan politik di masyarakat. Kiai sangat
dihormati oleh masyarakat melebihi penghormatan mereka terhadap pejabat
setempat. Petuah-petuahnya memiliki daya pikat yang luar biasa, sehingga
memudahkan bagi seorang kiai untuk menggalang massa baik secara kebutuhan
maupun terorganisasi. Ia memiliki pengikut yang banyak jumlahnya dari kalangan
santri dalam semua lapisan mulai dari anak-anak smpai kelompok lanjut usia.
Terkadang kelompok islam yang disebut Clifford Geertz sebagai
"abangan" secara moral-psikis juga menjadi makmum terhadap ketokohan
kiai.[47]
Kiai dikenal sebagai guru atau pendidik utama dalam
sebuah pesantren. Disebut demikian karena kiailah yang bertugas memberikan
bimbingan, pengarahan, dan pendidikan kepada para santri. Kiai pulalah yang
dijadikan figur ideal santri dalam
proses pengembangan diri- meskipun pada umumnya kiai juga memiliki beberapa
orang asisten atau yang lebih dikenal dengan sebutan “ustadz” atau “santri
senior.
Pada dasarnya tidak ada syarat-syarat formal tertentu
bagi siapapun nutuk menjadi seorang kiai. Namun, dalam konteks ini, ada
beberapa hal yang menurut Karel A. Steenbrink yang dikutip oleh Prof. Dr. Abd
halim Soebahar, MA biasanya dijadikan tolak ukur, yaitu pengetahuan, kesalehan,
keturunan, dan jumlah santrinya. [48]
Lebih jauh Hiroko Horikoshi yang dikutip oleh Prof. Dr.
Abd Halim Soebahar, MA memberikan ulasan:
“Kiai
menduduki posisi sentral dalam masyarakat Islam tradisional dan menyatukan
berbagai golongan hingga mampu melakukan tindakan kolektif, jika diperlukan.
Dia mengambil peran sebagai poros hubungan antara umat dengan Tuhan. Pada
pandangan sebagian besar pengikutnya, kiai adalah contoh muslim ideal yang
hendak mereka capai. Dia seorang yang dianugerahkan pengetahuan dan rahmat
Tuhan. Sifat hubungan antara kiai dan masyarakat adalah kolektif. Kiai terkesan
sebagai pemimpin simbolis yang tak gampang ditiru oleh orang biasa. Beberapa
orang terdekat menghubungkan kia dengan masyarakat, tetapi atas nama pribadi”[49]
C.
Kajian Tentang Pengajian
Pengajian adalah salah satu bentuk untuk dakwah.
Pengajian mengandung arti penyampaian pesan dakwah yang disampaikan kepada mad’ū
melalui metode bil-lisān, pengajian ini biasanya disampaikan oleh guru
agama yang saat ini lebih identik dengan para kiai maupun ustadz dengan
menggunakan acuan atau pegangan kitab-kitab.
Selain itu pengajian juga diartikan sebagai tempat
berkumpulnya orang yang berbagi ilmu agama dengan orang yang menerima ilmu.
Artinya, ada ustadz dan ada jamaah. Kesuksesan pengajian tergantung pada
keduanya. Namun, tanggung jawab yang besar terletak pada ustadznya.[50]
Dalam Kamus Besar Bahas Indonesia pengajian: Pengajaran (agama Islam)[51]:
menanamkan norma agama melalui ~ dan dakwah. Pengajian sendiri berasal
dari kata “kaji” yang berarti pelajaran (agama), kemudian kata tersebut mendapat
awalan pe- dan akhiran -an, sehingga pengajian bermakna ajaran atau pengajaran.
Pengajian merupakan salah satu istilah yang cukup dikenal
di kalangan pesantren. Istilah ini merujuk kepada salah satu bentuk kegiatan
yang sering dilakukan oleh pimpinan pesantren (pengasuh/kiai). Pengajian juga
sebagai salah satu metode pembelajaran pesantren. Sistem pembelajaran yang
dianut oleh pesantren pada biasanya menganut sistem pembelajaran (pengajian) sorogan,
bandongan dan weton.[52]
Metode sorogan merupakan suatu metode yang
ditempuh dengan cara guru menyampaikan pelajaran kepada santri secara
individual, biasanya di samping di pesantren juga dilakukan di langgar, masjid
dan terkadang malah dirumah-rumah. Metode wetonan atau disebut bandongan
adalaah metode yang paling utama di
lingkuangan pesantren. Zamakhsyari Dhofier menerangkan bahwa metode wetonan
(bandongan) ialah suatu metode pengajaran dengan cara guru membaca,
menterjemah, menerangkan dan mengulas buku-buku Islam dalam bvahas Arab sedang
kelompok santri mendengarkannya. Metode ini ternyata merupakan hasil adaptasi
dari metode pengajaran agama yang berlangsung di Timur Tengah, terutama di
Mekkah dan al-Azhar, Mesir.[53]
[1] M. Munir, Metode Dakwah,
Jakarta: Kencana, 2006, cet ke-2, hal 7
[2] Ibid, hal 7
[4] Adalah seorang Guru Besar dan Ketua Program Studi Dakwah Dan Komunikasi
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Lihat dalam pengantar M.Munir,
Metode Dakwah
[9] Muhammad Sa’id Ramadan Al-Buti, Finding
Islam dialog Tradisionalisme-Liberalisme Islam, Diterjemah oleh Ahmad
Mulyadi, Penerbit Erlangga, 2002, hal 16
[20] Moh. Ali Aziz, Dakwah dan
Pengembangan Laboratorium Jurusan,
Yogyakarta: Pustaka pesantren, 2009, hal.xv
[21] Didin Hafhiduddin, Agar layar
tetap berkembang, Jakarta: Gema Insani Press, 2006, cet 1, hal.32
[25] M.Quraish Shihab,M.A, Membumikan Al-Qur’an fungsi peran
wahyu dalam kehidupan bermasyarakat.Bandung: Mizan Pustaka, 2007, hal.194-195
[26] Hikmah:
ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak
dengan yang bathil.
[27] Depag RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya.
[31] Mahmud Asy-Syafrowi, Assalamu’alaikum
Tebarkan Salam, Damaikan Alam, Yogyakarta: Mutiara Media, hal 140
[32] Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama
Hijaz: boigrafi Syaikh Nawawi al-Bantani, Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2009, hal.109
[37] Moh. Ali Aziz, Dakwah
Pemberdayaan Masyarakatradigma aksi metodologi, Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2009, cet ke
2, Hal 14
[38] Mujamil Qomar, Pesantren: Dari
Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Gelora Aksara
Pratama, hal 27
[39] Mujamil Qomar, Pesantren: Dari
Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Gelora Aksara
Pratama, hal.27
[40] Darul Aqsha, Kiai Haji Mas
Mansur (1986-1946) Perjuangan dan Peikirannya, Penerbit Erlangga, hal 118
[41] Abd Halim Soebahar, Modernisasi
Pesantren, Yogyakarta: LkiS
Printing Cemerlang, 2013, cet-1, hal 34.
[42] Abd Halim Soebahar, Modernisasi
Pesantren, Yogyakarta: LkiS
Printing Cemerlang, 2013, cet-1, hal 35
[43] Mujamil Qomar, Pesantren: Dari
Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Gelora Aksara
Pratama. hal.28
[48] Abd Halim Soebahar, Modernisasi Pesantren, Yogyakarta: LkiS Printing Cemerlang,
2013, cet-1, hal 38
[49] Abd Halim Soebahar, Modernisasi
Pesantren, Yogyakarta: LkiS
Printing Cemerlang, 2013, cet-1, hal 39
[51] Tim Penyusun, pimred Dendy Sugono, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat bahasa, 2008, Hal. 617-618
[53] Mujamil Qomar, Pesantren: Dari
Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Gelora Aksara
Pratama. Hal.143
09.14 |
Category: |
1 komentar
Comments (1)
Casinos for the UK | LuckyClub Live
A place to play with real money and a place to win Casinos for the UK luckyclub · Casumo Casino · Wildz Casino · Vbet Casino · Ballys · NetBet Casino · Luckyland Casino